Selasa, 13 Oktober 2015

TERJEMAH FATHUL QORIB LENGKAP: KITAB THOHAROH; TENTANG AIR



قَالَ المُصَنِّف رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى.
Mushannif berkata - semoga Allah memberi rahmat pada beliau - :

كِتَابُ أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ
KOMPILASI KETENTUAN-KETENTUAN BERSUCI


وَالْكِتَابُ لُغَةً مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالجَمْعِ. وَاصْطِلَاحاً اسْمٌ لِجِنْسٍ مِنَ الأَحْكَامِ. أَمَّا الْبَابُ فَاسْمٌ لِنَوْعٍ مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ الْجِنْسِ.
Kitab menurut bahasa adalah masdar yang memiliki arti mengumpulkan. Sedang menurut istilah adalah nama bagi satu jenis dari beberapa hukum. Adapun “Bab” ialah nama bagi satu macam dari sekian hukum yang masuk pada jenis tersebut.

CATATAN : __________________________________
Mashdar adalah sebuah kata yang mengandung makna suatu perbuatan tanpa mengaitkan waktu.

وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة  أَيْ مِنْ وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ. أَمَّا الطُّهَارَةُ بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ المَاءِ.
“Thoharoh” dengan harokat fathah pada huruf tho’ menurut bahasa adalah bersih. Sedangkan  menurut syara’, maka didalamnya terdapat banyak penafsiran. Diantaranya adalah ungkapan ulama’ “Melakukan sesuatu yang dengannya sholat diperbolehkan” yaitu berupa wudlu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis. Sedangkan “thuharoh” dengan harokat dlomah (pada huruf tho’) adalah sebutan bagi sisa air.
وَلَمَّا كَانَ المَاءُ آلَةً لِلطَّهَارَةِ  اسْتَطْرَدَ المُصَنِّفُ لِأَنْوَاعِ المِيَاهِ فَقَالَ:
Karena air itu menjadi media bersuci, maka Mushannif mengutarakan tentang macam-macam air. Beliau berkata:
(المِيَاهُ الَّتِيْ يَجُوْزُ) أَيْ يَصِحُّ (التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاهٍ مَاءُ السَّمَاءِ) أي النَّازِلُ مِنْهَا وَهُوَ المَطَرُ (وَمَاءُ البَحْرِ) أيْ المِلْحِ (وَمَاءُ النَّهَرِ) أي الحُلْوِ (وَمَاءُ البِئْرِ وَمَاءُ العَيْنِ وَمَاء الثَّلْجِ وَمَاء البَرَدِ) وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةِ قَوْلُكَ: مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ أَوْ نَبَعَ مِنَ الأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ
Air-air yang boleh, maksudnya sah digunakan bersuci dengannya ada tujuh macam air.
1.       Air langit maksudnya yang turun dari langit, yaitu hujan,
2.      Air laut maksudnya air asin
3.      Air sungai yaitu air tawar
4.      Air sumur,
5.      Air sumber air,
6.      Air tsalju dan
7.      Air es (dari langit).
Tujuh macam air ini terkumpulkan oleh ungkapanmu “sesuatu yang turun dari langit atau memancar dari bumi dengan berbagai macam kondisi dari bentuk asalnya

CATATAN : __________________________________
Perbedaan antara air tsalji dan air barad adalah tsalji itu turun dari langit dalam kondisi cair lantas membeku di atas bumi karena cuaca yang sangat dingin. Sedangkan barad itu turun dari langit dalam keadaan beku/keras kemudian mencair diatas bumi. Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa sebenarnya keduanya turun dari langit dalam keadaan cair saat ditengah-tengah perjalanan ke bumi keduanya mengeras. Yang membedakan keduanya adalah saat berada diatas bumi, tsalji tetap dalam kondisi beku sedangkan barad mencair. Keduanya dibedakan dari air hujan yang sebenarnya sama-sama turun dari langit karena memandang sisi bekunya. Kondisi beku dan keras inilah yang membedakan keduanya dari air hujan. Lihat Al-Baijuri, Al-Haramain, Juz 1 hal. 27.

(ثُمَّ المِيَاهُ) تَنْقَسِمُ (عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ) أَحَدُهَا (طَاهِرٌ) فِيْ نَفْسِهِ (مُطَهِّرٌ) لِغَيْرِهِ (غَيْرُ مَكْرُوْهٍ اسْتِعْمَالُهُ. وَهُوَ المَاءُ المُطْلَقُ) عَنْ قَيِّدٍ لَازِمٍ فَلَا يَضُرُّ القَيِّدُ المُنْفَكُّ كَمَاءِ البِئْرِ فِي كَوْنِهِ مُطْلَقاً
Selanjutnya, air terbagi atas 4 macam.
Yang pertama: Air yang suci dzatnya menyucikan terhadap selainnya dan tidak makruh digunakan. Yaitu Air yang terbebas dari identitas yang mengikat. Maka keberadaan identitas yang tidak mengikat itu tidak membahayakan terhadap kemutlakan air.
(وَ) الثَّانِي (طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اسْتِعْمَالُهُ) فِي البَدَنِ لَا فِي الثَّوْبِ (وَهُوَ المَاءُ المُشَمَّسُ) أي المُسَخَّنُ بِتَأْثِيْرِ الشَّمْسِ فِيْهِ. وَإِنَّمَا يُكْرَهُ شَرْعاً بِقَطْرٍ حَارٍ فِي إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ  إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا. وَإِذَا بَرَدَ زَالَتْ الكَرَاهَةُ. وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ مُطْلَقاً. وَيُكْرَهُ أَيْضاً شَدِيْدُ السُّخُوْنَةِ وَالبُرُوْدَةِ
Dan yang kedua adalah air suci menyucikan namun makruh  digunakan pada tubuh, tidak makruh pada pakaian, yaitu air Musyammas. Ialah air yang dipanaskan dengan mengandalkan pengaruh sengatan matahari padanya. Air tersebut secara  syara’ dimakruhkan penggunaanya hanya di daerah yang bercuaca panas dan air berada di wadah yang terbuat dari logam selain wadah dari dua logam mulia /emas dan perak,  sebab kejernihan elemen keduanya. Jika air tersebut telah dingin maka hilanglah hukum makruh menggunakannya. Tetapi imam An-Nawawi memilih pendapat yang menyatakan tidak makruh secara mutlak. (Selain makuh menggunakan air musyammas) dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat panas dan sangat dingin.

CATATAN : __________________________________
Ø  Penggunaan air musyammas sebagai media bersuci ini makruh jika masih ada wadah yang lain. Jika tidak ada wadah lain maka hukumnya tidak makruh. Bahkan bisa menjadi wajib saat waktu sholat hamper habis dan tidak menemukan yang lain. Al-Baijuri, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 29
Syarat dimakruhkannya air musyammas sebagai berikut:
1.       Berada di daerah bercuaca panas seperti Mekah dsb. Sehingga tidak makruh jika digunakan dalam daerah yang bercuaca sedang seperti negara Mesir atau daerah Jawa dan daerah dingin seperti Syiria dsb.
2.      Sengatan matahari merubah kondisi air sekira pada air muncul zat yang berasal dari karat logam.
3.      Air berada pada wadah yang terbuat dari logam selain emas perak. Seperti wadah yang terbuat dari logam besi, tembaga dsb.
4.      Digunakan saat suhu air sedang panas.
5.      Digunakan pada kulit badan. Meskipun pada badan orang yang terkena penyakit kusta, orang mati dan hewan.
6.      Dipanaskan saat cuaca panas.
7.      Masih ada air selain musyammas yang dapat dipergunakan.
8.      Waktu sholat masih longgar sehingga masih ada waktu untuk mencari air yang lain.
9.      Tidak mendapat bahaya secara nyata atau dalam dugaan kuatnya. Jika meyakini atau menduga akan muncul bahaya maka haram hukumnya.
Bila tidak memenuhi sembilan syarat ini maka hukum menggunakannya tidak lagi makruh. Nihayat az-Zain, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 17
Ø  Tidak makruhnya menggunakan air musyammas dalam bejana yang terbuat dari logam mulia (emas dan perak) bukan berarti boleh menggunakan bejana tersebut. Sebab penggunaan bejana itu hukumnya haram dari sisi menggunakan emas perak. Sedangkanm tidak makruhnya menggunakan air musyammas dalam bejana tersebut karena memandang sisi tidak membahayakannya menggunakan air mesyammas tersebut. Sehingga hukum menggunakan air musyammas dalam bejana itu hukumnya tidak makruh (halal) dipandang dari sisi menggunakan air musyammas yang tidak berbahaya dan haram dari sisi menggunakan emas dan perak. Lihat Al-Baijuri, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 29-30

(وَ) القِسْمُ الثَّالِثُ (طَاهِرٌ) فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِهِ (وَهُوَ المَاءُ المُسْتَعْمَلُ) فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَة نَجْسٍ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ المَغْسُوْلُ مِنَ المَاءِ.
Dan bagian yang ketiga adalah:
1.       Air suci dalam dzatnya tidak menyucikan terhadap selainnya. Ialah air musta’mal / yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis. (Dihukumi musta’mal dengan syarat)  air tidak berubah dan setelah terpisah (dari benda yang dibasuh) volume air tidak bertambah dari semula dengan mengira-ngirakan bagian air yang terserap oleh benda yang dibasuh.
(وَالمُتَغَيِّرُ) أَيْ وَمِنْ هَذَا القِسْمِ المَاءُ المُتَغَيِّرُ أَحَدُ أَوْصَافِهِ (بِمَا) أَيْ بِشَيْءٍ (خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) تَغَيُّراً يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ. فَإِنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ طَهُوْرٍ حِسِّيًّا كَانَ التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيْرِيًّا. كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الوَرْدِ المُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ  وَالمَاءِ المُسْتَعْمَلِ
2.      Air yang berubah. Maksudnya yang termasuk dalam bagian ketiga ini adalah air yang berubah salah satu sifat-sifatnya disebabkan oleh sesuatu; yaitu salah satu dari benda-benda suci yang bercampur dengan air, dengan taraf perubahan yang dapat menghalangi sebutan nama air (murni) padanya*. Maka air yang seperti ini hukumnya adalah suci dalam dirinya namun tidak menyucikan. Baik perubahan itu nampak oleh panca indra atau hanya dalam perkiraan, seperti ketika air tercampur oleh benda yang sesuai (dengan air) dalam sifat-sifatnya, misal air bunga mawar yang telah hilang baunya (dicampur dengan air mutlak) dan seperti air musta’mal (dicampur dengan air mutlak).

CATATAN : __________________________________
*Contoh air ditambahkan pemanis maka tidak disebut lagi sebagai air tetapi dinamakan minuman, air ditambahkan sayuran dan penyedap maka air tersebut tidak lagi dinamakan air tetapi dinamakan kuah dsb.

فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ إِطْلَاقَ اسْمِ المَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ يَسِيْراً  أَوْ بِمَا يُوَافِقِ المَاءَ فِي صِفَاتِهِ وَقُدِّرَ مُخَالِفاً  وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يَسْلُبُ طَهُوْرِيَّتَهُ. فَهُوَ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ.
Sehingga bila saja perubahan itu tidak mencegah penisbatan nama air mutlak padanya, dengan sekira perubahan air yang disebabkan oleh benda suci itu hanya sedikit, atau dengan sesuatu yang cocok terhadap air dalam sifatnya dan dianggap berbeda dengan air namun tidak sampai membuatnya berubah (dari kemurnian air) maka perubahan itu tidak menghilangkan sifat suci mensucikannya air. Sehingga air (yang dijelaskan terakhir ini) masih dapat mensucikan terhadap selainnya.
وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ خَالَطَهُ عَنِ الطَّاهِرِ المُجَاوِرِ لَهُ. فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُوْرِيَّتِهِ. وَلَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيْراً وَكَذَا المُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ. لَا يَسْتَغْنِي المَاءُ عَنْهُ كَطِيْنٍ وَطُحْلَبٍ. وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ. وَالمُتَغَيِّرُ بِطُوْلِ المُكْثِ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ.
Mushannif mengecualikan dengan ungkapannya “خَالَطَهُ” dari benda yang suci yang hanya mukholith/ tidak larut pada air maka air tersebut masih berada pada status suci mensucikan meskipun perubahan air sangat nampak. Begitu pula (seperti air yang bersinggungan dengan benda suci yang dihukumi masih mensucikan) air yang berubah sebab tercampur dengan benda yang larut namun air tidak terlepas dari persinggungan dengannya. Seperti lumpur, lumut, benda-benda yang berada di tempat berdiamnya air atau di tempat mengalirnya air, dan air yang berubah disebabkan lamanya diam (tanpa gerak). Maka air-air ini (secara hukum) adalah suci mensucikan.
 (و) القِسْمُ الرَّابِعُ (مَاءُ نَجْسٍ) أي مُتَنَجِّسٌ وَهُوَ قِسْمَانِ أَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (وَهُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ أَمْ لَا (وَهُوَ) أَيْ وَالحَالُ أَنَّهُ مَاءٌ (دُوْنَ القُلَّتَيْنِ)
Dan bagian yang keempat adalah air najis, maksudnya mutanajis. Air ini ada dua bagian:
Yang pertama adalah yang volumenya sedikit; yaitu air yang didalamnya terdapat najis baik air mengalami perubahan atau tidak dan air tersebut; maksudnya kondisi air tersebut adalah air yang kurang dari dua qullah.
وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا القِسْمُ المَيْتَةُ الَّتِيْ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا كَالذُّبَابِ إِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ تُغَيِّرْهُ. وَكَذَا النَّجَاسَةُ الَّتِيْ لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ. فَكُلٌّ مِنْهُمَا لَا يُنْجِسُ المَائِعَ وَيُسْتَثْنَى أَيْضاً صُوَرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي المَبْسُوْطَاتِ.
Dari bagian ini dikecualikan (air  kemasukan) bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang dapat mengalir saat dibunuh atau dirobek bagian tubuhnya - seperti lalat- jika (masuknya bangkai tersebut ke dalam air itu ) tidak (ada kesengajaan) memasukkannya. Begitu juga najis yang tidak terlihat oleh mata. Maka kedua najis tersebut tidak menajiskan benda cair. Juga dikecualikan beberapa kasus yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.
وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي مِنَ القِسْمِ الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ (أَوْ كَانَ) كَثِيْراً (قُلَّتَيْنِ) فَأَكْثَرَ (فَتَغَيَّرَ) يَسِيْراً أَوْ كَثِيْراً. (وَالْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ) فِيْهِمَا وَالرِّطْلُ البَغْدَادِيُّ عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائْةٌ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ دِرْهَماً وَأَرْبَعَةُ أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ.
Mushannif memberikan isyarat pada macam yang kedua dari bagian keempat ini dengan ungkapannya “Atau airnya banyak, berupa dua qullah” atau lebih “kemudian terjadi perubahan” baik perubahan yang sedikit atau banyak.
Dua qullah adalah takaran 500 Rithl Baghdad dengan mengira-ngirakannya menurut pendapat Ashah (pendapat yang lebih shohih/benar dibanding pendapat yang lain) dalam dua kriteria tersebut; (yakni takaran 500 rithl dan dengan mengira-ngirakannya). Rithl Baghdad menurut An-Nawawy adalah 128 4/7 dirham.

CATATAN : __________________________________
Ø  Ukuran air dua qullah menurut
ü  Imam Nawawi = 174,580 lt / kubus berukuran kurang lebih 55,9 cm.
ü  Imam Rofi’i = 176,245 lt / kubus berukuran jurang lebih 56,1 cm.
ü  Ulama’ Iraq = 255,325 lt / kubus berukuran kurang lebih 63,4 cm.
ü  Mayoritas Ulama = 216,000 lt / kubus berukuran kurang lebih 60 cm.

Ø  Kriteria yang menjadi pertimbangan dalam menyatakan air mencapai 2 qullah ada dua, volume dan ketepatan volume. Qoul Ashah dalam masalah volume, dua qullah adalah 500 rithl. Sedangkan menurut pendapat yang lain adalah 600 rithl dan ada yang menyatakan 1.000 rithl. Untuk kriteria ketepatan volume Qoul Ashahnya adalah taqribi (dengan kira-kira/tidak harus tepat), sehingga bila saja kurang satu atau dua qullah maka masih termasuk 2 qullah. Dan menurut pendapat lain volume harus tepat (tahdid), sehingga kurang sedikit saja sudah tidak dianggap 2 qullah. Lihat Al-Baijuri, Darul Kutub Al-Ilmiyah, juz 1 hal. 78-79
وَتَرَكَ المُصَنِّفُ قِسْماً خَامِساً وَهُوَ المَاءُ المُطَهِّرُ الحَرَامُ كَالوُضُوْءِ بِمَاءٍ مَغْصُوْبٍ أَوْ مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ
Mushannif meninggalkan penjelasan bagian yang kelima yaitu air yang menyucikan namun haram menggunakannya. Seperti wudlu menggunakan air ghosob atau menggunakaan air yang disediakan untuk minum.

TERJEMAH FATHUL QORIB LENGKAP: MUQODDIMAH

MUKADIMAH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
قَالَ الشَّيْخُ الإِمَامُ العَالِمُ العَلَّامَةُ شَمْسُ الدِّيْنِ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ قَاسِمٍ الشَّافِعِيِّ تَغَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ وَرِضْوَانِهِ آمِينْ:
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Al-Syaikh Al-Imam Al-’Alim Al-’Allamah Syams Ad-Din Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Qosim As-Syafi’I - semoga Allah melimpahkan Rahmat dan Ridlo kepada beliau, amin - berkata:
الحَمْدُ لِلهِ تَبَرُّكاً بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ لِأَنَّهَا ابْتِدَاءُ كُلِّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ. وَخَاتِمَةُ كُلِّ دُعَاءٍ مُجَابٍ. وَآخِرُ دَعْوَى المُؤْمِنِيْنَ فِي الْجَنَّةِ دَارِ الثَّوَابِ. أَحْمَدُهُ أَنْ وَفَّقَ مَنْ أَرَادَ مِنْ عِبَادِهِ لِلتَّفَقُّهِ فِي الدِّيْنِ عَلَى وِفْقِ مُرَادِهِ. وَأُصَلِّي وَأُسَلِّمُ عَلَى أَفْضَلِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ. الْقَائِلِ: "مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ" وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ مُدَّةَ ذِكْرِ الذَّاكِرِيْنَ وَسَهْوِ الغَافِلِيْنَ.
Al-Hamdu Lillah (segala puji bagi Allah) dengan berharap keberkahan Surat Pembuka Al-Quran, karena hamdalah merupakan awalan dari tiap-tiap hal yang mengandung kebaikan, pungkasan setiap doa yang dikabulkan dan akhiran doa orang-orang mukmin di surga tempat pemberian balasan pahala. Saya memuji Allah, karena telah member pertolongan siapa saja yang dikehendaki-Nya dari para hamba-hamba-Nya yang ingin mendalami agama sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Saya bersholawat dan salam kepada makhluq-Nya yang paling Utama, Muhammad, Sang Junjungan para Rasul, yang bersabda: “Barang siapa yang Allah menghendakinya menjadi baik maka Allah akan menjadikannya faham terhadap ajaran agama”. Dan kepada keluarga dan Shahabat Nabi, selama masih ingatnya orang-orang yang ingat (kepada Allah atau Rasulullah) dan lalainya orang-orang yang lalai (dari keduanya).

CATATAN : __________________________________
Penyebutan “مُدَّةَ ذِكْرِ الذَّاكِرِيْنَ وَسَهْوِ الغَافِلِيْنَ” bertujuan agar sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi, keluarga dan Shahabat beliau dalam semua waktu yang ada di dunia ini. Sebab waktu yang ada dalam dunia ini tidak lepas dari adanya mengingat kepada Allah atau Nabi Muhammad atau lupa dari keduanya.
(وَبَعْدُ): هَذَا كِتَابٌ فِي غَايَةِ الْاِخْتِصَارِ وَالتَّهْذِيْبِ. وَضَعْتُهُ عَلَى الْكِتَابِ المُسَمَّى بِالتَّقْرِيْبِ لِيَنْتَفِعَ بِهِ المُحْتَاجُ مِنَ المُبْتَدِئِيْنَ لِفُرُوْعِ الشَّرِيْعَةِ وَالدِّيْنِ. وَلِيَكُوْنَ وَسِيْلَةً لِنَجَاتِيْ يَوْمَ الدِّيْنِ. وَنَفْعاً لِعِبَادِهِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ سَمِيْعٌ دُعَاءَ عِبَادِهِ. وَقَرِيْبٌ مُجِيْبٌ. وَمَنْ قَصَدَهُ لَا يَخِيْبُ {وَإذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإنِّي قَرِيبٌ}
Selanjutnya, kitab Syarah ini adalah kitab yang sangat ringkas dan telah maksimal pembenahannya. Saya mengarangnya (untuk menjelaskan) terhadap kitab yang berjudul “at-Taqriib” dengan tujuan supaya orang yang membutuhkan dari sekian para pemula dalam memahami masalah furu’ syari’at dan agama, bisa mengambil manfaat dari kitab itu. Dan semoga kitab ini dapat menjadi pengantar keselamatan saya di Hari Pembalasan nanti serta bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang muslim. Karena sesungguhnya Dia Maha mendengar doa hamba-hamba-Nya, Maha dekat lagi Maha mengabulkan doa. Siapapun yang mau menuju pada-Nya maka dia tidak akan rugi. (Dalam firman-Nya disebutkan) : “ Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku maka (jawablah): sesungguhnya Aku Maha Dekat” (QS. Al-Baqoroh ayat 186)
وَ اعْلَمْ أَنَّهُ يُوْجَدُ فِي بَعْضِ نُسَخِ هَذَا الْكِتَابِ فِي غَيْرِ خُطْبَتِهِ تَسْمِيَّتُهُ تَارَةً بِالتَّقْرِيْبِ. وَتَارَةً بِغَايَةِ الاِخْتِصَارِ. فَلِذَلِكَ سَمَّيْتُهُ بِاسْمَيْنِ أَحَدُهُمَا: (فَتْحُ القَرِيْبِ المُجِيْبِ) فِي شَرْحِ أَلْفَاظِ التَّقْرِيْبِ. وَالثَّانِي: "القَوْلُ المُخْتَارُ فِي شَرْحِ غَايَةِ الْاِخْتِصَارِ".
Ketahuilah bahwa dalam sebagian dari beberapa salinan kitab Taqrib ini - bukan dalam pembukaannya - sekali tempo ditemukan pemberian nama kitab ini dengan nama “at-Taqriib”, dan pada yang lain ditemukan nama “Ghoyatu al-Ikhtishor”. Maka dari itu, saya menamakan kitab saya ini dengan dua nama. Yang pertama “Fat-hu Al-Qorib Al-Mujib fi Syarhi alfadz at-Taqriib” (Pengetahuan dari Yang Maha Dekat lagi Maha mengabulkan, dalam menjelaskan ungkapan-ungkapan kitab at-Taqriib). Yang kedua “al-Qoul Al-Mukhtar fi Syarhi Ghoyati al-Ikhtishor” (Pendapat yang dipilih, dalam menjelaskan kitab Ghoyat al-Ikhtishor”).
قَالَ الشَّيْخُ الإِمَامُ أَبُو الطَّيِّبِ: وَيَشْتَهِرُ أَيْضاً بِأَبِيْ شُجَاعٍ شِهَابُ المِلَّةِ وَالدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ الحُسَيْنِ بْنِ أَحْمَدَ الأَصْفَهَانِي سَقَى اللهُ ثَرَاهُ صَبِيْبَ الرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ. وَأَسْكَنَهُ أَعْلَى فَرَادِيْسِ الْجَنَانِ.
Syaikh Imam Abu Thoyib, yang terkenal dengan sebutan Abi Syuja’ - Sang Cahaya Agama - Ahmad ibn al-Husain ibn Ahmad Al-Ashfahani - semoga Allah menyirami pusara beliau dengan tuangan Rahmat dan Ridlo serta menempatkannya di tempat yang tinggi dalam surga firdaus - berkata:
(بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) أَبْتَدِىءُ كِتَابِي هَذَا. وَ "الله" اسْمٌ لِلذَّاتِ الوَاجِبِ الوُجُوْدِ. والرّحْمَنُ أَبْلَغُ مِنَ الرَّحِيْمِ. (الحَمْدُ لِلهِ) هُوَ الثَّنَاءُ عَلَى اللهِ تَعَالَى بِالجَمِيْلِ عَلَى جِهَةِ التَّعْظِيْمِ (رَبِّ) أي مَالِكِ (العَالَمِيْنَ) بِفَتْحِ اللَّامِ. وَهُوَ كَمَا قَالَ ابْنُ مَالِكٍ اسْمُ جَمْعٍ خَاصٍّ بِمَنْ يَعْقِلُ لَا جَمْعٌ. وَمُفْرَدُهُ عَالَمٌ بِفَتْحِ اللَّامِ. لِأَنَّهُ اسْمٌ عَامٌ لمِاَ سِوَى اللهِ تَعَالَى وَالجَمْعُ خَاصٌّ بِمَنْ يَعْقِلُ.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya memulai kitab saya ini. “Allah” Adalah nama dari Dzat yang wajib wujud-Nya. Kata Ar-Rahman lebih tinggi maknanya daripada kata Ar-Rahim. Al-Hamdu Lillah adalah pujian indah kepada Allah ta’ala untuk mengagungkan. “Yang Mengatur” maksudnya Yang Menguasai orang-orang alam. Lafad “العَالَمِيْنَ” dengan fathah pada huruf Lamnya, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Malik, adalah Isim Jama’ yang maknanya terkhusus pada orang-orang yang berakal, bukan lafad Jama’. Sedangkan Mufrodnya adalah “عَالَمٌ”dengan harakat fathah pada Lamnya. (Disebut isim jama’) sebab “عَالَمٌ” adalah kata benda yang maknanya mencakup semua hal selain Allah ta’ala, namun makna lafad jama’nya (العَالَمِيْنَ) malah hanya tertentu pada orang-orang yang berakal.
 (وَصَلَّى اللهُ) وَسَلَّمَ (عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ) هُوَ بِالهَمْزِ وَتَرْكِهِ إِنْسَانٌ أُوْحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ يَعْمَلُ بِهِ. وَإِنْ لَمْ يُؤْمَرْ بِتَبْلِيْغِهِ فَإِنْ أُمِرَ بِتَبْلِيْغِهِ فَنَبِيٌّ وَرَسُوْلٌ أَيْضاً. وَالمَعْنَى يُنْشِىءُ الصَّلَاة وَالسَّلَامَ عَلَيْهِ. وَ "مُحَمَّدٌ" عَلَمٌ مَنْقُوْلٌ مِنْ اسْمٍ مَفْعُوْلٍ المُضَعَّفِ العَيْنِ. وَ "النَّبِيُّ "بَدَلٌ مِنْهُ أَوْ عَطْفُ بَيَانٍ عَلَيْهِ.
Semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam pada junjungan Kita Muhammad SAW sang Nabi. Kata “النَّبِيِّ” baik yang menggunakan hamzah atau tidak, memiliki makna seorang yang kepadanya diwahyukan sebuah syari’at untuk diamalkan meskipun tidak diperintah untuk menyampaikannya (kepada umat). Jika ia diperintah untuk menyampaikannya maka ia adalah nabi dan juga rasul. Makna yang dikehendaki adalah semoga Allah memunculkan rahmat serta penghormatan dan salam kepadanya. Kata “مُحَمَّدٌ” adalah nama yang diambil dari isim maf’ul yang binaknya mudlo’af ‘ain. Kata “النَّبِيُّ” merupakan badal dari lafad “مُحَمَّدٍ” atau ‘athof bayannya.
 (وَ) عَلَى (آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ) هُمْ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ أَقَارِبُهُ المُؤْمِنُوْنَ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ. وَبَنِي المُطَلِّبِ. وَقِيْلَ وَاخْتَارَهُ النَّوَوِيُّ: إِنَّهُمْ كُلُّ مُسْلِمٍ. وَلَعَلَّ قَوْلَهُ الطَّاهِرِيْنَ مُنْتَزَعٌ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَيُطَهِّرُكُمْ تَطْهِيْرًا}
Dan semoga terlimpahkan kepada keluarga Beliau yang suci. Makna “آلِهِ” sebagaimana pernah diungkapkan oleh Imam As-Syafi’i adalah kerabat-kerabat Nabi yang beriman, dari Bani Hasyim dan Bani Mutholib. Dan ada yang berpendapat – dan pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi- Mereka adalah setiap orang Muslim. Kelihatannya kata “الطَّاهِرِيْنَ” diambil dari firman Allah:
وَيُطَهِّرُكُمْ تَطْهِيْرًا
Artinya: “dan Dia membersihkan kalian dengan sebenar-benarnya”. (Surat Al-Ahzab ayat 33)
 (وَ) عَلَى (صَحَابَتِهِ) جَمْعُ صَاحِبِ النَّبِيِّ وَقَوْلُهُ (أَجْمَعِيْنَ) تَأْكِيْدٌ لِصَحَابَتِهِ.
Dan semoga terlimpahkan pada Shohabat beliau. Kata “صَحَابَتِهِ” merupakan jama’ lafad “صَاحِبِ”. Dan ungkapan Mushannif “أَجْمَعِيْنَ” taukid (penguat makna) bagi lafad “صَحَابَتِهِ”.
 ثُمَّ ذَكَرَ المُصَنِّف أَنَّهُ مَسْؤُوْلٌ فِي تَصْنِيْفِ هَذَا المُخْتَصَرِ بِقَوْلِهِ: (سَأَلَنِي بَعْضُ الأَصْدِقَاءِ) جَمْعُ صَدِيْقٍ. وَقَوْلُهُ: (حَفَظَهُمُ اللهُ تَعَالَى) جُمْلَةٌ دُعَائِيَّةٌ (أَنْ أَعْمَلَ مُخْتَصَراً) هُوَ مَا قَلَّ لَفْظُهُ وَكَثُرَ مَعْنَاهُ (فِي الْفِقْهِ) هُوَ لُغَةً الفَهْمُ. وَاصْطِلَاحاً العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Selanjutnya Mushannif (Pengarang kitab matan Taqrib) menuturkan, beliau diminta untuk mengarang kitab mukhtashor ini dengan ungkapan: “Sebagian teman memintaku  - “الأَصْدِقَاءِ” adalah jama’ dari lafad “صَدِيْقٍ” - ungkapan semoga Allah menjaga mereka adalah ungkapan doa, untuk membuat kitab muhtashor yaitu kitab yang sedikit lafadnya namun luas maknanya dalam ilmu fiqh -menurut bahasa, Fiqh adalah faham dan menurut istilah adalah pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan syari’at  yang berhubungan dengan perbuatan, yang diambil dari dalil-dalil tafshili-.

CATATAN : __________________________________
Ketentuan-ketentuan syariat atau fiqh diperoleh dari dalil tafshily yang diolah menggunakan dalil ijmaly. Dalil tafshily adalah dalil-dalil yang menjadi sumber hukum fiqh, meliputi al-Quran, Hadis, ijma’, Qiyas dan beberapa sumber hukum yang eksistensinya masih diperselisihkan ulama, seperti istishab, istihsan, qoul shohabat, mashlahah mursalah. Dalil ijmaly adalah kaedah-kaedah yang digunakan untuk memahami sumber-sumber hukum islam, terangkum sebagai ilmu ushul fiqh.
(عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ) الأَعْظَمِ المُجْتَهِدِ نَاصِرِ السُّنَّةِ وَالدِّيْنِ أَبِي عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدٍ بْنِ إِدْرِيْسٍ بْنِ العَّبَّاسِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ شَافِعٍ. (الشَّافِعِيِّ) وُلِدَ بِغُزَّةَ سَنَةَ خَمْسِيْنَ وَمِائَةٍ وَمَاتَ (رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ وَرِضْوَانُهُ) يَوْمَ الجُمْعَةِ سَلْخَ رَجَبَ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَمِائَتَيْنِ.
Sesuai dengan madzhab seorang Imam yang luhur, seorang mujtahid, pembela hadis dan agama, Abi Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Al-’Abbas ibn ‘Utsman ibn Syafi’ As-Syafi’i beliau dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan wafat semoga Rahmat dan Ridlo Allah terlimpah pada beliau pada hari Jumat akhir bulan Rajab tahun 204 H.
وَوَصَفَ المُصَنِّف مُخْتَصَرَهُ بِأَوْصَافٍ مِنْهَا أَنَّهُ (فِي غَايَةِ الاِخْتِصَارِ وَنِهَايَةِ الإِيْجَازِ) وَالغَايَةُ وَالنِّهَايَةُ مُتَقَارِبَانِ وَكَذَا الاِخْتِصَارُ وَالإِيْجَازُ. وَمِنْهَا أَنَّهُ (يَقْرُبُ عَلَى المُتَعَلِّمِ) لِفُرُوْعِ الفِقْهِ (دَرْسُهُ وَيَسْهُلُ عَلَى المُبْتَدِىءِ حِفْظُهُ) أيْ اسْتِحْضَارُهُ عَلَى ظَهْرِ قَلْبٍ لِمَنْ يَرْغَبُ فِي حِفْظِ مُخْتَصَرٍ فِي الفِقْهِ.
Pengarang memberi resensi atas kitab mukhtashornya dengan beberapa sifat yang diantaranya bahwa mukhtashor ini Sangat ringkas dan paling sederhana makna kata “الغَايَةُ” dan “النِّهَايَةُ” berdekatan begitu juga kata “الاِخْتِصَارُ” dan “الإِيْجَازُ”. Diantaranya lagi bahwa mukhtashor ini mudah bagi orang yang mempelajari ilmu furu’ fiqih untuk dipelajari dan mudah bagi pemula untuk dihafal). Maksudnya mudah mengingatnya di luar kepala, bagi orang yang gemar menghafal kitab mukhtashor ilmu fiqih.
(وَ) سَأَلَنِي أَيْضاً بَعْضُ الأَصْدِقَاءِ (أَنْ أُكْثِرَ فِيْهِ) أي المُخْتَصَرِ (مِنَ التَّقْسِيْمَاتِ) لِلْأَحْكَامِ الفِقْهِيَّةِ (وَ) مِنْ (حَصْرِ) أيْ ضَبْطِ (الخِصَالِ) الوَاجِبَةِ وَالمَنْدُوْبَةِ وَغَيْرِهِمَا
Dan sebagian teman memintaku juga untuk memperbanyak didalamnya maksudnya dalam kitab mukhtashor ini pembagian-pembagian hukum fiqh dan membatasi bilangan maksudnya menentuan batasan permasalahnya baik yang wajib, sunah atau yang lainnya.
(فَأَجِبْتُهُ إِلَى) سُؤَالِهِ فيِ (ذَلِكَ طَالِباً لِلثَّوَابِ) مِنَ اللهِ تَعَالَى جَزَاءً عَلَى تَصْنِيْفِ هَذَا المُخْتَصَرِ (رَاغِباً إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) فِي الإِعَانَةِ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى تَمَامِ هَذَا المُخْتَصَرِ وَ(فِي التَّوْفِيْقِ لِلصَّوَابِ) وَهُوَ ضِدُّ الخَطَأِ (إِنَّهُ) تَعَالَى (عَلَى مَا يَشَاءُ) أي يُرِيْدُ (قَدِيْرٌ) أي قَادِرٌ (وَبِعِبَادِهِ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ) بِأَحْوَالِ عِبَادِهِ. وَالْأَوَّلُ مُقْتَبَسٌ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ}  وَالثَّانِي مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَهُوَ الحكِيمُ الخبيرُ} وَاللَّطِيْفُ وَالخَبِيْرُ اسْمَانِ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى. وَمَعْنَى الأَوَّلِ العَالِمُ بِدَقَائِقِ الأُمُوْرِ وَمُشْكِلَاتِهَا. وَيُطْلَقُ أَيْضاً بِمَعْنَى الرَّفِيْقِ بِهِمْ. فَاللهُ تَعَالَى عَالِمٌ بِعِبَادِهِ. وَبِمَوَاضِعِ حَوَائِجِهِمْ. رَفِيْقٌ بِهِمْ. وَمَعْنىَ الثَّانِي قَرِيْبٌ مِنْ مَعْنَى الأَوَّلِ. وَيُقَالُ خَبَرْتُ الشَّيْءَ أَخْبَرُهُ فَأَنَا بِهِ خَبِيْرٌ أَيْ عَلِيْمٌ.
Maka aku menyetujui permintaan untuk membuatnya dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala, sebagai balasan atas usaha mengarang kitab ini seraya mengharap pada Allah SWT.  pertolongan dari sifat keagungan-Nya atas kesempurnaan kitab mukhtashor ini dan  pertolongan untuk mendapatkan kebenaran. “الصَّوَاب  adalah kebalikan dari “الخَطَأ” (kesalahan). Sesungguhnya Allah ta’ala terhadap apa yang dikehendaki maksudnya diinginkannya adalah Dzat yang berkuasa, maksudnya mampu (merealisasikannya) dan terhadap hamba-hamba-Nya adalah Dzat yang Maha Mengasihi dan Maha Mengetahui atas tingkah laku hamba-hamba-Nya . Ungkapan yang pertama “خَبِيْرٌ” diambil dari firman Allah ta’ala:
{اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ}
Artinya: “Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya”. (QS. As-Syura 19)
dan yang kedua “لَطِيْفٌ” dari firman-Nya
{وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ} 
Artinya: “dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-An’aam 18)
Kata “اللَّطِيْفُ” dan “الخَبِيْرُ” adalah dua nama dari nama-nama Allah ta’ala. Makna yang pertama adalah dzat yang mengetahui perkara-perkara yang detail dan yang rumit. Juga diungkapkan dengan makna yang berbelas-kasihan pada mereka. Maka Allah ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mengetahui hamba-hambanya dan tempat kebutuhan mereka serta mengasihi mereka. Makna lafad yang kedua berdekatan dengan makna lafad yang pertama. Diungkapkan “خَبَرْتُ الشَّيْءَ أَخْبَرُهُ فَأَنَا بِهِ خَبِيْرٌ” artinya : saya telah mengerti tentang sesuatu, saya sedang mengerti tentangnya maka saya adalah orang yang mengerti tentangnya, maksudnya mengetahui.